Selasa, 16 Mei 2017

TERNYATA



Oleh : Hariyo Tri Sedewo

Aku sibuk mencarimu di sela-sela kata.
Di antara larik sajak yang tak kunjung usai.
Di balik lembar-lembar puisi yang haram kutafsir.
Haram kumengerti.

Bisik angin membelai jatuh gugur daun nagasari,
menuntun jatuh menyentuh bumi,
pun adalah baitmu untukku.
Yang buta pada segala rangkai huruf dan kosakata.

Aku.
Sedang sibuk dengan manusia.
Memahamimu melalui mereka dan tingkah lakunya.
Yang kukira hanya kau buat satu sajak saja. Kita. Dan sepatutnya meresap lewat rasa.

Ternyata. Kau adalah segala.

Kukusan, 2017

Senin, 22 Februari 2016

"Hujan"



"Hey!"

Seorang perempuan bertubuh mungil lengkap dengan hijab dan tas jinjingnya duduk di sampingku. Hanya ada kami di halte sore itu. Suaranya merusak frekwensi lamunan yang terlanjur kubangun megah.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Ah.. tidak ada, hanya sedang mengagumi hujan."

Aku tersenyum, untunglah di dunia yang penuh hiruk-pikuk materialitas dan gaya hidup hedonis ini masih ada orang yang peduli dengan isi kepala.

"Hujan?"

"Ya.. lihat saja, indah bukan? Tiap tetesnya turun dengan ikhlas."


Ia terdiam, mengernyitkan dahi seperti sedang mencoba memahami keindahan yang kuceritakan. Atau.. sebenarnya mungkin ada hal lain bermain di pikirannya. Matanya menerawang jauh sejauh ia mampu membendung air mata yang seharusnya sudah meluap sejak lama.

"Tak hanya ikhlas, hujan juga tabah walau bulan Juni belum nampak." Lanjutku, "Coba kau pikir berapa orang yang mencaci hujan ketika ia mulai turun? Pun begitu ia tetap turun tetes demi tetes. Seperti sebuah pertunjukan yang memaksa manusia untuk berhenti sejenak dari keduniawian mereka. Sangat syahdu."

"Kau ini aneh, di sore secerah ini sempat-sempatnya melamunkan hujan. Lihat, senja berhias dengan gagah di langit barat."

Perempuan itu benar, entah sudah berapa lama kota penuh gedung tinggi ini tak tersentuh hujan. Dan tak satupun warga yang peduli atau setidaknya pura-pura peduli. Tak lagi kujumpai sisa-sisa romansa peraduan rasa dan hujan yang lama tak juga datang. Meski aku sangat merindukan suara air pecah menghantam bumi bertubi-tubi. Mungkin hanya aku yang begitu, yang rela keluar dari rumah hanya untuk mencium bau tanah basah, eh.. aspal basah maksutku. Mana ada tanah tersisa di kota se-sesak ini. Hujan telah hilang. Kota ini gersang. Sekarat.

"Sebegitu cintanya kau pada hujan?"

"Begitulah"

"Mana yang lebih kau cintai, hujan atau aku?"


Perempuan itu bertanya dengan senyum termanis yang pernah aku lihat. Berharap waktu berjalan lebih lambat agar aku bisa menikmati senyuman yang jarang ia tampakkan.

"Apa bedanya? … Toh keduanya hanya bisa kukagumi sepenuhnya hanya ketika ada. Saat tiada aku bisa apa? Menghilang.."

Perempuan itu tertawa. Tertawa terbahak-bahak hanya untuk menutupi ke-tidaksanggupan-nya membendung lagi tangis. Air matanya menetes dan tersapu angin senja. Tetes demi tetes berubah menjadi debu kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya. Aku hanya bisa terdiam melihat partikel-partikel tubuh perempuan mungil itu tersapu angin kencang hasil terpaan bus yang selama ini kutunggu.

Senja hilang, malam merenggut tahtanya yang sekejap. Di gelap sederas itu aku kembali pulang membawa buncahan rindu yang kuselipkan diantara tetes hujan. Meski basah kuyup seluruh badanku dibuatnya.

Hujan menghilang. Dan tak lagi akan datang. Hanya tersisa gumpalan rindu yang mengendap tak karuan menyesaki rongga dada. Rindu beralamatkan perempuan bertubuh mungil lengkap dengan hijab dan tas jinjing yang duduk tepat di sebelahku. Yang menghujani seluruh rasa. Malam itu, tak lagi mampu kubendung tangis.

Dan hujan turun dengan derasnya.

Senin, 18 Januari 2016

bebas terbatas

katanya.
jangan langsung dipercayai.baca dan pikirkan bagaimana menurut nurani anda. bisa saja yang saya tulis ini salah. bisa saja ada benarnya.

emosi mewakili kebebasan sedangkan rasional adalah keterbatasan.
makhluk bernama manusia ada karena kurang lebih peran kolaborasi kedua hal ini yang menjadikan hasil pemikiran rasional dan emosional menjadi suatu bentuk kebudayaan yang unik satu sama lain.

Rabu, 06 Januari 2016

Curhat



Aku mengenalnya sejak duduk di bangku SMA. Tahun pertama aku disana aku hanya tahu saja, dan kesanku.. 

dia cantik. Hanya itu.

Tak pernah ada dialog yang terjadi karena memang lingkaran kehidupan kami tidak saling bersinggungan. Meski beberapa kali berpapasan.

Sempat ada kabar tersebar katanya beberapa orang di sekolah menyimpan perasaan padanya.
Wajar saja, toh dia memang cantik. Tapi hanya itu.

Kesanku padanya tak berubah meski di tahun selanjutnya aku berada di ruangan yang sama dengan perempuan itu. Aku masih terlalu sibuk dengan duniaku. Atau mungkin lebih tepatnya, dunia masih terlalu sibuk denganku.

Samar…

Samar-samar ada sesuatu yang tak ku ketahui dari perempuan itu. Namun toh, aku tak begitu peduli.
Sekilas seperti  jiwa pemberontak, ingin bebas dan tak terkekang tapi lembut bayangan yang tercipta dalam pikiranku akan perempuan itu adalah burung. Mungkin perkutut, atau prenjak hahaha. Eh bukan, sebenarnya lebih mirip Burung Hantu. Tapi toh aku tak peduli. Saat itu bukan dia yang menjadi tokoh utama dalam hidupku.

Perlahan aku kagum. Hanya itu.

Aku memang tak pernah menjadi tokoh utama. Dulu aku merasa hidupku terlalu luas untuk diisi oleh hanya seorang aku. Namun kenyataannya hidupku terlalu sesak dengan tokoh-tokoh utama yang kuciptakan hingga tak ada cukup ruang untuk diriku sendiri.

Sampai saat para tokoh utama itu kemudian pergi dari lingkaran kehidupan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Ruang ini terlalu luas untuk aku rapikan sendiri. Tokoh-tokoh yang pergi itu meninggalkan sampah bernama kesepian. Berserakan dimana-mana.

Dan perempuan itu datang.
Bukan. Aku memanggil setelah beberapa lama aku tak mengenalnya. Hidupnya saat itu adalah sesuatu yang sangat baru bagiku. Awalnya hanya obrolan masalah kepentingan. Tapi caranya menjalani hidup lebih menarik dari sekedar kepentingan. Seolah-olah dia memenuhi ruang hidup dengan dirinya sendiri. Dia menjadi tokoh utama.

Tapi tampaknya ruangan itu terlalu sesak dengan dirinya yang tak kuketahui. Hingga tak ada ruang tersisa. Bahkan untuk eksistensiku yang sekecil zarrah ini. Dialog yang terjadi tak pernah lama lalu kemudian menghilang. Sampah-sampah diruanganku tak habis kurapikan. Namun, setiap kali melihatnya akupun ingin juga menjadi tokoh utama.

Bukan ding.
Aku ingin menjadikannya tokoh utama. Aku ingin memenuhi ruangan hidup ini hanya dengan perempuan itu.

Iya. Aku sedang jatuh cinta, sejak sekitar sepuluh bulan yang lalu. Atau bahkan mungkin sejak lima tahun yang lalu, entah.

Yang jelas kini, patah hati bukan hal yang baru.

Minggu, 06 Desember 2015

Aku, Dia,Siapa?



Kami saling berhadapan, tapi matanya tak sekalipun memandangku. Lebih banyak terfokus pada objek di belakangku atau di atas meja.

Dan kami saling berbicara.