Kami saling berhadapan, tapi matanya tak sekalipun
memandangku. Lebih banyak terfokus pada objek di belakangku atau di atas meja.
Dan kami saling berbicara.
Mungkin lebih tepatnya saling melontarkan kata. Aku tak
peduli apa yang ia katakan. Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku katakan.
Dia pun begitu.
Selama kami bersama, kami hanya saling melontarkan kata.
Bukan mencaci-maki, bukan pula dengan amarah. Bahkan bisa kukatakan kami saling
berbicara tanpa rasa.
Tapi..
Setiap kali bersamanya aku tak pernah bisa mengatakan apa
yang sebenarnya ingin aku katakan. Begitu berulang-ulang, aku selalu berhenti
pada titik yang sama. Matanya yang tak sekalipun memandangku seperti tembok
yang menghalangiku untuk mengatakan apa yang kurasakan.
"apa yang sebenarnya kau pikirkan?"
"kepada siapa saat ini kau bicara? Kata-kata yang kau
lontarkan tanpa rasa itu, untuk aku atau sebenarnya kau hanya bergumam pada
dirimu sendiri?"
"apa aku ada di dalam semestamu?"
Lidahku kaku. Pandangannya yang kosong melebur dengan dingin
malam itu, sedikit demi sedikit eksistensinya terbawa angin. Seperti tiupan
anak kecil yang belum pernah ke pantai pada butiran pasir. Ia membaur dengan
malam, terbawa angin dan menghilang.
Mataku terbelalak, aku terus melontarkan kata, apapun yang
ingin aku katakan, apapun yang ingin aku tanyakan. Lidahku bergerak dengan
lancar. Aku menanyakan apa yang kurasakan pada dirinya.
Kami saling berhadapan
Tapi..
Aku tak pernah bisa memandang matanya. Lebih banyak terfokus pada objek
di belakangnya atau di atas meja.
Dan kami saling berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar