"Hey!"
Seorang perempuan bertubuh
mungil lengkap dengan hijab dan tas jinjingnya duduk di sampingku. Hanya ada
kami di halte sore itu. Suaranya merusak frekwensi lamunan yang terlanjur
kubangun megah.
"Apa yang sedang
kau pikirkan?"
"Ah.. tidak ada, hanya sedang mengagumi hujan."
Aku tersenyum,
untunglah di dunia yang penuh hiruk-pikuk materialitas dan gaya hidup hedonis
ini masih ada orang yang peduli dengan isi kepala.
"Hujan?"
"Ya.. lihat
saja, indah bukan? Tiap tetesnya turun dengan ikhlas."
Ia terdiam,
mengernyitkan dahi seperti sedang mencoba memahami keindahan yang kuceritakan. Atau.. sebenarnya mungkin ada hal lain bermain di pikirannya. Matanya
menerawang jauh sejauh ia mampu membendung air mata yang seharusnya sudah
meluap sejak lama.
"Tak hanya
ikhlas, hujan juga tabah walau bulan Juni belum nampak." Lanjutku, "Coba kau pikir berapa orang yang
mencaci hujan ketika ia mulai turun? Pun begitu ia tetap turun tetes demi
tetes. Seperti sebuah pertunjukan yang memaksa manusia untuk berhenti sejenak
dari keduniawian mereka. Sangat syahdu."
"Kau ini aneh,
di sore secerah ini sempat-sempatnya melamunkan hujan. Lihat, senja berhias
dengan gagah di langit barat."
Perempuan itu benar, entah
sudah berapa lama kota penuh gedung tinggi ini tak tersentuh hujan. Dan tak satupun warga yang peduli atau setidaknya pura-pura peduli. Tak lagi
kujumpai sisa-sisa romansa peraduan rasa dan hujan yang lama tak juga datang.
Meski aku sangat merindukan suara air pecah menghantam bumi bertubi-tubi.
Mungkin hanya aku yang begitu, yang rela keluar dari rumah hanya untuk mencium
bau tanah basah, eh.. aspal basah maksutku. Mana ada tanah tersisa di kota
se-sesak ini. Hujan telah hilang. Kota ini gersang. Sekarat.
"Sebegitu
cintanya kau pada hujan?"
"Begitulah"
"Mana yang lebih
kau cintai, hujan atau aku?"
Perempuan itu
bertanya dengan senyum termanis yang pernah aku lihat. Berharap waktu berjalan
lebih lambat agar aku bisa menikmati senyuman yang jarang ia tampakkan.
"Apa bedanya? … Toh
keduanya hanya bisa kukagumi sepenuhnya hanya ketika ada. Saat tiada aku bisa
apa? Menghilang.."
Perempuan itu
tertawa. Tertawa terbahak-bahak hanya untuk menutupi ke-tidaksanggupan-nya
membendung lagi tangis. Air matanya menetes dan tersapu angin senja. Tetes demi
tetes berubah menjadi debu kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya. Aku hanya
bisa terdiam melihat partikel-partikel tubuh perempuan mungil itu tersapu angin
kencang hasil terpaan bus yang selama ini kutunggu.
Senja hilang, malam
merenggut tahtanya yang sekejap. Di gelap sederas itu aku kembali pulang
membawa buncahan rindu yang kuselipkan diantara tetes hujan. Meski basah kuyup
seluruh badanku dibuatnya.
Hujan menghilang. Dan
tak lagi akan datang. Hanya tersisa gumpalan rindu yang mengendap tak karuan
menyesaki rongga dada. Rindu beralamatkan perempuan bertubuh mungil lengkap
dengan hijab dan tas jinjing yang duduk tepat di sebelahku. Yang menghujani
seluruh rasa. Malam itu, tak lagi mampu kubendung tangis.
Dan hujan turun
dengan derasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar