Sore di kampus berjalan seperti biasa. Ruang kelas yang
biasa. Dosen yang biasa. Tugas-tugas yang.. okay luar biasa, ditambah kesibukan
kepanitiaan dan organisasi cukup mempan untuk membuat otak manusia ingin
muntah.
Maaf jadi curhat, hehe.
Sejenak melepas lelah, ngobrol selalu menjadi pelarian
paling gampang dan murah. Bersama dua orang adik kelas saya yang sekarang juga
menjadi adik tingkat di fakultas. Ditemani angin sepoy dari sela-sela gedung
berbata merah khas fakultas ekonomi UI.
Maklum, orang lagi capek arah pembicaraan pun ngalor-ngidul
nggak karuan. Hingga sampai pada poin... “Kangen Magelang”.
Tentu ini bukan hal baru bagi mahasiswa rantau untuk
merindukan kampung halamannya sendiri. Padahal dulu waktu sebelum merantau
sering mengeluh kalau kotanya “inilah, itulah” mengkritik segala kekurangan
membandingkan dengan kota besar yang sekarang menjadi tempat rantauan.
Ayolah mengaku saja hahaha.
Tapi apakah mengucap kata kangen, dan pulang seminggu sekali
(atau mungkin sebulan dua bulan sekali) itu cukup menjadi pembuktian bahwa kita
benar-benar mencintai kampung halaman kita? Apakah itu cukup? Sementara “extreme”
telah mendendangkannya dan saya yakin menjadi salah satu lagu favorit anda. Bahwa butuh lebih dari sekedar kata untuk membuktikan cinta.
Obrolan menjadi lebih serius kearah apa yang bisa kita
lakukan untuk kampung halaman kita, dalam kasus ini Magelang. Beberapa orang
mungkin berpikiran mereka akan berkontribusi untuk kampung halamannya dengan
kembali setelah mereka sukses mengadu nasib di perantauan . setelah itu ikut
membangun kampung halaman.
Sah-sah saja memang berpikiran seperti itu, tapi.. saya
tidak yakin apakah masih ada nafas yang tersisa hingga sukses dan kembali lagi
membangun Magelang. Atau apakah istri saya mau bahkan rela saya boyong ke Magelang
hingga akhir hidupnya jika ia bukan asli orang Magelang? Pemikiran dalam benak
itu berkembang lagi menjadi “kenapa tidak sekarang?” apapun, sekecil apapun
yang bisa kita lakukan untuk Magelang.
Dimulai dengan mencari permasalahan-permasalahan yang ada di
Magelang. 10 menit berlalu dengan keheningan. Aneh. Padahal dulu sewaktu
tinggal di Magelang permasalahan sosial tampak ada di depan mata. Tapi kini
dari kami bertiga, terbayang saja tidak. Hahahahaha.
Entah mendapat bisikan dari setan apa, saya teringat gerakan
DonateBook milik teman saya dan Komunitas Jendela yang keduanya mirip serta
dekat dengan Magelang. Keduanya bergerak di bidang peningkatan minat baca
masyarakat dengan menyalurkan buku-buku sumbangan bahkan membangun
perpustakaan. Dan memang di Magelang sendiri minat baca cenderung rendah. Perpustakaan
yang bagus hanya ada di Kota. di daerah pinggiran masih banyak siswa yang putus
sekolah. Teman satu SD saya bahkan, yang melanjutkan sampai Perguruan Tinggi
dapat dihitung jari.
Kami bertiga pun menemui titik terang. Tidak muluk-muluk,
setahun satu mini-perpustakaan dibangun di daerah lereng gunung dan pinggiran
yang akses ke Kota untuk sekedar ke perpustakaan cenderung susah.
Untuk masalah koleksi buku, dapat dijalin kerjasama dengan
DonateBook tadi atau dengan Komunitas Jendela.
Masalah pendanaan?
FORMAMA atau Forum Mahasiswa Magelang memiliki proker
tahunan berupa try out SBMPTN untuk anak-anak SMA yang peminatnya selalu
banyak. Untungnya pun tidak sedikit, tentu. Jika memungkinkan kami ingin
melantaikan ide ini ke FORMAMA. Selain itu ada Paguyuban sekolah tinggi seperti
STAN dan STIS yang tiap tahun juga mengadakan Try Out. Kemungkinan kami juga akan menjalin kerjasama
kesana. Sehingga ini bukan lagi menjadi program kami bertiga. Tidak menjadi PKM
yang kebanyakan setelah mendapat dana a.k.a menang, program tidak dijalankan
karena uang hadiah habis untuk nraktir temen-temen. Ini adalah program Seluruh
Mahasiswa Magelang untuk Magelang.
Kemudian masalah perawatan perpustakaan? Lagi-lagi
diselesaikan dengan konsep kerjasama. Untuk perawatan langsung dalam bayangan
kami, akan bekerjasama dengan karang taruna di tempat dididirikan
mini-perpustakaan tersebut. Sedangkan untuk pengawasan dapat dilakukan oleh
Mahasiswa Magelang yang merantau ke Jogja. Karena jarak Jogja ke Magelang
relatif dekat. Cukup seminggu sekali dengan jadwal piket dilakukan pengawasan
ke perpustakaan tersebut.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang tidak merantau dan
ingin berpartisipasi?
Justru disini kunci bagaimana program ini tidak mati. Mahasiswa
yang kuliah di magelang dapat direkrut sebagai relawan. Setiap minggunya
relawan dapat mengadakan acara-acara yang fun untuk menghibur anak-anak
disekitar kawasan dibangun mini-perpustakaan tadi. Acara yang diselenggarakan
pun, dalam bayangan kami, tidak jauh-jauh dari perpustakaan sehingga anak-anak
semakin tergerak untuk hobi membaca buku. Dalam rangka membentuk generasi yang
tidak anti-perpus.
Jika program ini benar berjalan, ini akan menjadi program
besar anak-anak Magelang. Entah dari kota ataupun kabupaten. Memang ini baru
wacana. Tapi semua hal besar pun berangkat dari wacana. Ini adalah satu dari
jutaan hal lain yang dapat kita lakukan untuk Magelang. Sebagai pembuktian
bahwa kita orang Magelang memang benar-benar mencintai salah satu dari dua kota
di Dunia yang dikelilingi lima gunung. Magelang.
Jadi, jika anda orang Magelang, bagaimana respon anda
terhadap wacana saya? Eh, maksud saya wacana kita?
:)
Yuk, realisasikan bareng-bareng!
Keren nggoot..
BalasHapussuwun om, bantu sebar ide boleh.. hehe ayo direalisasikan!
BalasHapusAseeek ajak2 mas nek meh gerak wkwk
BalasHapussiap nggar, minta tolong sebarkan ide juga..
BalasHapussip nggot, dukungan mengalir dari malang
BalasHapussuwun om.. bantu sebar ide yaa
BalasHapusWah mbok iya yok. Pengen gt dr dulu tp ga ada modal. Tempatku butuh bangeet tu
BalasHapusayo ndang realisasikan bareng", libatkan banyak orang :3
BalasHapus