Selasa, 23 September 2014

Masih Wacana

Sore di kampus berjalan seperti biasa. Ruang kelas yang biasa. Dosen yang biasa. Tugas-tugas yang.. okay luar biasa, ditambah kesibukan kepanitiaan dan organisasi cukup mempan untuk membuat otak manusia ingin muntah.

Maaf jadi curhat, hehe.

Sejenak melepas lelah, ngobrol selalu menjadi pelarian paling gampang dan murah. Bersama dua orang adik kelas saya yang sekarang juga menjadi adik tingkat di fakultas. Ditemani angin sepoy dari sela-sela gedung berbata merah khas fakultas ekonomi UI.

Maklum, orang lagi capek arah pembicaraan pun ngalor-ngidul nggak karuan. Hingga sampai pada poin... “Kangen Magelang”.

Tentu ini bukan hal baru bagi mahasiswa rantau untuk merindukan kampung halamannya sendiri. Padahal dulu waktu sebelum merantau sering mengeluh kalau kotanya “inilah, itulah” mengkritik segala kekurangan membandingkan dengan kota besar yang sekarang menjadi tempat rantauan.

Ayolah mengaku saja hahaha.

Tapi apakah mengucap kata kangen, dan pulang seminggu sekali (atau mungkin sebulan dua bulan sekali) itu cukup menjadi pembuktian bahwa kita benar-benar mencintai kampung halaman kita? Apakah itu cukup? Sementara “extreme” telah mendendangkannya dan saya yakin menjadi salah satu lagu favorit anda. Bahwa  butuh lebih dari sekedar kata untuk membuktikan cinta.

Obrolan menjadi lebih serius kearah apa yang bisa kita lakukan untuk kampung halaman kita, dalam kasus ini Magelang. Beberapa orang mungkin berpikiran mereka akan berkontribusi untuk kampung halamannya dengan kembali setelah mereka sukses mengadu nasib di perantauan . setelah itu ikut membangun kampung halaman.

Sah-sah saja memang berpikiran seperti itu, tapi.. saya tidak yakin apakah masih ada nafas yang tersisa hingga sukses dan kembali lagi membangun Magelang. Atau apakah istri saya mau bahkan rela saya boyong ke Magelang hingga akhir hidupnya jika ia bukan asli orang Magelang? Pemikiran dalam benak itu berkembang lagi menjadi “kenapa tidak sekarang?” apapun, sekecil apapun yang bisa kita lakukan untuk Magelang.

Dimulai dengan mencari permasalahan-permasalahan yang ada di Magelang. 10 menit berlalu dengan keheningan. Aneh. Padahal dulu sewaktu tinggal di Magelang permasalahan sosial tampak ada di depan mata. Tapi kini dari kami bertiga, terbayang saja tidak. Hahahahaha.

Entah mendapat bisikan dari setan apa, saya teringat gerakan DonateBook milik teman saya dan Komunitas Jendela yang keduanya mirip serta dekat dengan Magelang. Keduanya bergerak di bidang peningkatan minat baca masyarakat dengan menyalurkan buku-buku sumbangan bahkan membangun perpustakaan. Dan memang di Magelang sendiri minat baca cenderung rendah. Perpustakaan yang bagus hanya ada di Kota. di daerah pinggiran masih banyak siswa yang putus sekolah. Teman satu SD saya bahkan, yang melanjutkan sampai Perguruan Tinggi dapat dihitung jari.

Kami bertiga pun menemui titik terang. Tidak muluk-muluk, setahun satu mini-perpustakaan dibangun di daerah lereng gunung dan pinggiran yang akses ke Kota untuk sekedar ke perpustakaan cenderung susah.

Untuk masalah koleksi buku, dapat dijalin kerjasama dengan DonateBook tadi atau dengan Komunitas Jendela.

Masalah pendanaan?

FORMAMA atau Forum Mahasiswa Magelang memiliki proker tahunan berupa try out SBMPTN untuk anak-anak SMA yang peminatnya selalu banyak. Untungnya pun tidak sedikit, tentu. Jika memungkinkan kami ingin melantaikan ide ini ke FORMAMA. Selain itu ada Paguyuban sekolah tinggi seperti STAN dan STIS yang tiap tahun juga mengadakan Try Out.  Kemungkinan kami juga akan menjalin kerjasama kesana. Sehingga ini bukan lagi menjadi program kami bertiga. Tidak menjadi PKM yang kebanyakan setelah mendapat dana a.k.a menang, program tidak dijalankan karena uang hadiah habis untuk nraktir temen-temen. Ini adalah program Seluruh Mahasiswa Magelang untuk Magelang.

Kemudian masalah perawatan perpustakaan? Lagi-lagi diselesaikan dengan konsep kerjasama. Untuk perawatan langsung dalam bayangan kami, akan bekerjasama dengan karang taruna di tempat dididirikan mini-perpustakaan tersebut. Sedangkan untuk pengawasan dapat dilakukan oleh Mahasiswa Magelang yang merantau ke Jogja. Karena jarak Jogja ke Magelang relatif dekat. Cukup seminggu sekali dengan jadwal piket dilakukan pengawasan ke perpustakaan tersebut.

Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang tidak merantau dan ingin berpartisipasi?

Justru disini kunci bagaimana program ini tidak mati. Mahasiswa yang kuliah di magelang dapat direkrut sebagai relawan. Setiap minggunya relawan dapat mengadakan acara-acara yang fun untuk menghibur anak-anak disekitar kawasan dibangun mini-perpustakaan tadi. Acara yang diselenggarakan pun, dalam bayangan kami, tidak jauh-jauh dari perpustakaan sehingga anak-anak semakin tergerak untuk hobi membaca buku. Dalam rangka membentuk generasi yang tidak anti-perpus.

Jika program ini benar berjalan, ini akan menjadi program besar anak-anak Magelang. Entah dari kota ataupun kabupaten. Memang ini baru wacana. Tapi semua hal besar pun berangkat dari wacana. Ini adalah satu dari jutaan hal lain yang dapat kita lakukan untuk Magelang. Sebagai pembuktian bahwa kita orang Magelang memang benar-benar mencintai salah satu dari dua kota di Dunia yang dikelilingi lima gunung. Magelang.

Jadi, jika anda orang Magelang, bagaimana respon anda terhadap wacana saya? Eh, maksud  saya wacana kita?

:)


Yuk, realisasikan bareng-bareng!

8 komentar:

  1. suwun om, bantu sebar ide boleh.. hehe ayo direalisasikan!

    BalasHapus
  2. Aseeek ajak2 mas nek meh gerak wkwk

    BalasHapus
  3. siap nggar, minta tolong sebarkan ide juga..

    BalasHapus
  4. sip nggot, dukungan mengalir dari malang

    BalasHapus
  5. Wah mbok iya yok. Pengen gt dr dulu tp ga ada modal. Tempatku butuh bangeet tu

    BalasHapus
  6. ayo ndang realisasikan bareng", libatkan banyak orang :3

    BalasHapus