Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!!
Ingatkah kalian yang seumuran dengan saya, masa-masa dimana
awal kita memasuki dunia perkuliahan. Pertama kali mendapat embel-embel “Maha”
pada status siswa kita.
Saya yakin pada saat ospek yang sebutannya di tiap universitas
berbeda-beda, ada teriakan-teriakan yang baru kita dengar pertama kali.
Yap. Teriakan "Hidup Mahasiswa!! Hidup Rakyat Indonesia!!"
Bagaimana first impression anda? Kagum? Bangga? Besar hati
sebagai mahasiswa?
Saya justru jijik.
Ini opini pribadi saya siih, silahkan jika anda tidak sependapat
dengan saya karena disitulah asiknya kebhinekaan :)
Mengapa saya jijik?
Dalam kalimat “Hidup Mahasiswa ! Hidup Rakyat Indonesia!”
terdapat pemisahan yang nyata terhadap mahasiswa dan rakyat indonesia. Seolah-olah
Mahasiswa bukan bagian dari rakyat Indonesia. Kata-kata ini sering dilontarkan
mahasiswa-mahasiswa (yang mengaku) aktivis terutama ketika turun aksi.
Seolah mereka ingin menunjukkan bahwa:
“inilah kami, mahasiswa pembela rakyat! Kami pahlawan
rakyat!” yang terkadang aksi tersebut tak disertai kajian-kajian ilmiah dan
tanpa sadar ditunggangi oknum yang memiliki kepentingan.
Arogansi anak muda.
Seolah-olah mereka adalah Wisanggeni yang kesaktiannya
melebihi Batara Guru. Yang mendobrak segala aturan untuk memperjuangkan apa
yang dianggapnya benar. Berani mengacak-acak khayangan.
Namun satu hal yang harus diingat bahwa raden wisanggeni
putra Arjuna ini dilarang megikuti perang bharatayudha oleh Sang Hyang Wenang. Justru
apabila Wisanggeni berperang, pandhawa yang akan kalah. Maka dari itu
Wisanggeni diangkat lebih dulu sebelum Bharatayudha terjadi.
Mengapa kita memisahkan diri dari masyarakat? Dari rakyat. Merasa
“lebih hebat” dibanding kebanyakan rakyat. Hanya karena tak semua dapat
mengenyam pendidikan sarjana? Mengapa kita mengeksklusifkan gerakan? Mengapa kita
begitu arogan hanya karena turun aksi. Yang sejatinya itu adalah kegiatan
menuntut perubahan.
Euforia 66 & 98
Proses ospek yang kita terima membuat kita rindu, terlalu
rindu pada euforia gerakan besar-besaran tahun 66 dan tahun 98. Yang keduanya
hampir sama, menggulingkan kekuasaan. Padahal bila dicermati kontribusi
mahasiswa pada gerakan tahun 66 tak begitu signifikan. Soekarno dilengserkan
dengan paksa bukan karena mahasiswa, tapi Supersemar yang diselewengkan hingga
eyang kita itu berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Waktu yang cukup untuk
menumpuk utang negara, membudayakan KKN hingga hartanya pun tak habis hingga 7
turunan.
Hal yang ingin saya sorot adalah pergulingan kekuasaan,
mengganti orang yang berkuasa dengan orang baru terkadang bukanlah jawaban atas
masalah kita. Demo besar-besaran untuk menggulingkan pemerintahan hanya solusi
jangka pendek. Karena memang alamiahnya kekuasaan dan harta membuat orang lupa
diri.
Siapapun yang berkuasa, pasti memiliki potensi untuk menyelewengkan kekuasaaanya. Jadi pergantian pemimpin dengan paksa bukanlah merupakan suatu jawaban. Mengingatkannya ketika melakukan kesalahan menurut saya lebih bijaksana.
Dan menjadi tugas siapa mengingatkan penguasa ini?
Dalam cerita maha Bharatayudha versi jawa, satu-satunya yang
berani mengingatkan bhatara guru ketika melakukan kesalahan adalah kakaknya
yang tak lain adalah SEMAR. Panakawan para pandhawa. Dimana status semar dalam
mayapada adalah rakyat kecil. Hal ini menunjukkan kedaulatan rakyat telah
dikenal bangsa ini sejak munculnya semar dalam carangan kisah mahabharata.
Ya, rakyat. Termasuk mahasiswa sebagai salah satu elemen
rakyat. Termasuk mbak-mbak warteg, tukang siomay, dessigner, dosen, buruh dll. Jadi
mengapa kita teralu bangga diri dengan gerakan mahasiswa kita? Mengapa kita
mengeksklusifkan diri dengan memisahkan mahasiswa dengan rakyat? Padahal sejatinya
mahasiswa hanya salah satu elemen dari rakyat. Kita membela kepentingan kita
sendiri. Padahal kita adalah rakyat juga.
Maka dari itu, Jangan berjuang sendiri laaah, egois itu
namanya. Libatkan elemen rakyat yang juga ingin berjuang. Karena jika memang
demonstrasi adalah untuk membela kepentingan rakyat, tentu rakyat mau untuk
ikut serta. Jika cara perjuangannya sama.
Kadang-kadang kalimat mahasiswa adalah pembela rakyat
terlalu melekat pada jiwa seseorang. Sehingga seringkali orang-orang yang
disebut wisudawan menganggap wisuda pula perjuangan mereka dalam membela
rakyat. Menganggap bukan saatnya mereka berjuang, tetapi menjadi yang diperjuangkan. Bahkan tak sedikit orang-orang yang dulunya membela di kemudian hari,
malah membantai, memakan hak mereka. Karena kewajiban membela rakyat adalah
tugas mahasiswa. Sedang ia adalah pejabat negara yang dulu sering ia maki-maki.
Ironi.
Saya disini tidak menentang turun aksi. Dengan demonstrasi
yang dilakukan mahasiswa. Yang menyebabkan lalu lintas macet semakin macet. Yang
hanya 5 menit paling maksimal ditampilkan dalam televisi. Hehe..
Jujur saja, saya memang tidak akrab dengan demonstrasi, saya
bukan yang kalian sebut aktivis. Saya bukan pembela rakyat karena saya adalah
rakyat itu sendiri. Saya bukan jagoan jalanan yang tak takut menentang aparat.
Karena saya menganggap bahwa demonstrasi hanya salah satu
jalan –bukan satu-satunya jalan- untuk mengingatkan pemerintah. Untuk membuat
tuntutan kepada pemerintah. Untuk mengembalikan pemerintah dalam misi yang
sebenarnya yaitu melunasi janji kemerdekaan.
Jika ada elemen rakyat (seperti bem fakulas yang tak ingin
turun aksi) yang tak ingin ikut serta
dalam demonstrasi, alangkah bijaksananya tak perlu di cemooh dan dianggap tak
membela kepentingan rakyat. Karena cara berjuang masing-masing kelompok itu
berbeda-beda. Mungkin saja mereka berjuang untuk kepentingan rakyat dengan
jalan lain. Toh mereka juga rakyat juga, atau bukan? Hehe..
Karena sejatinya ada 2 macam pemuda yang satu menuntut
perubahan, yang lain adalah yang menciptakan perubahan. Mungkin mereka sedang
berusaha menciptakan perubahan sementara yang lain menuntut perubahan. Kan siapa
tau? :)
Yap, memang masih ada banyak jalan lain untuk ikut membenahi
masalah negeri ini. Misal saja masalah korupsi yang selama dekade terakhir ini
nge-trend. Bahwa sebanyak apapun koruptor ynag ditangkap itu percuma saja jika
budaya korupsinya tak dihabisi. Karena sadar atau tidak korupsi kecil-kecilan
selalu kita lakukan setiap hari karena memang itu kapasitas kita. Korupsi telah
membudaya. Cara untuk memberantas korupsi adalah memberantas budayanya. Jangan pernah
berbohong kepada anak-anak, tetangga, adik atau keponakan kita. Karna sadar
atau tidak, secara tidak langsung kita juga mengajarinya berbohong yang
merupakan akar dari perbuatan korupsi.
Namun perlu diingat. Korupsi bukanlah satu-satunya masalah di negeri ini.Masih banyak masalah lain.Intinya adalah banyak jalan lain untuk mengatasi masalah negeri ini.
Yaah, ini Cuma racauan dari seorang mahasiswa depresi dari
kamar kosan ditengah kehidupannya yang amburadul. Feel free untuk setuju maupun
tak setuju. Toh saya nggak begitu peduli haha, yang penting racauan saya
tersalurkan~
Tapi saran aja buat temen-temen, yang mau turun aksi,
kapan-kapan ajakin tuu rakyat yang kalian bela kepentingannya.. biar ramai..
kayak revolusi payung di hongkong. Bahkan bisa jadi berita internasional. Jangan
egois-egois laah kalau berjuang.. oiya, kalau rakyat turun, jangan teriak “Hidup
Mahasiswa!” nanti elemen lain ngambek, kalau Cuma mahasiswa yang hidup, berarti
tukang siomay, tukang ojek, mbak-mbak warteg cantik yang dibela itu nggak hidup
dong hehe :P teriakin aja “hidup rakyat Indonesia!” kan mencakup semua elemen
tuh.
Atau jangan-jangan.. kita mahasiswa emang bukan rakyat? Terus
apa dong? Alat politik buat menggulingkan kekuasaan? Kalo gitu, Pantas saja elemen
rakyat lain jarang ada yang mau ikut turun. *eh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar