Kamis, 19 Maret 2015

Hidup Mahahahaaha.~

Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!!

Ingatkah kalian yang seumuran dengan saya, masa-masa dimana awal kita memasuki dunia perkuliahan. Pertama kali mendapat embel-embel “Maha” pada status siswa kita.

Saya yakin pada saat ospek yang sebutannya di tiap universitas berbeda-beda, ada teriakan-teriakan yang baru kita dengar pertama kali.

Yap. Teriakan "Hidup Mahasiswa!!  Hidup Rakyat Indonesia!!"

Bagaimana first impression anda? Kagum? Bangga? Besar hati sebagai mahasiswa?

Saya justru jijik.

Ini opini pribadi saya siih, silahkan jika anda tidak sependapat dengan saya karena disitulah asiknya kebhinekaan :)

Mengapa saya jijik?

Dalam kalimat “Hidup Mahasiswa ! Hidup Rakyat Indonesia!” terdapat pemisahan yang nyata terhadap mahasiswa dan rakyat indonesia. Seolah-olah Mahasiswa bukan bagian dari rakyat Indonesia. Kata-kata ini sering dilontarkan mahasiswa-mahasiswa (yang mengaku) aktivis terutama ketika turun aksi.

Seolah mereka ingin menunjukkan bahwa:
“inilah kami, mahasiswa pembela rakyat! Kami pahlawan rakyat!” yang terkadang aksi tersebut tak disertai kajian-kajian ilmiah dan tanpa sadar ditunggangi oknum yang memiliki kepentingan.

Arogansi anak muda.

Seolah-olah mereka adalah Wisanggeni yang kesaktiannya melebihi Batara Guru. Yang mendobrak segala aturan untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Berani mengacak-acak khayangan.

Namun satu hal yang harus diingat bahwa raden wisanggeni putra Arjuna ini dilarang megikuti perang bharatayudha oleh Sang Hyang Wenang. Justru apabila Wisanggeni berperang, pandhawa yang akan kalah. Maka dari itu Wisanggeni diangkat lebih dulu sebelum Bharatayudha terjadi.

Mengapa kita memisahkan diri dari masyarakat? Dari rakyat. Merasa “lebih hebat” dibanding kebanyakan rakyat. Hanya karena tak semua dapat mengenyam pendidikan sarjana? Mengapa kita mengeksklusifkan gerakan? Mengapa kita begitu arogan hanya karena turun aksi. Yang sejatinya itu adalah kegiatan menuntut perubahan.

Euforia 66 & 98

Proses ospek yang kita terima membuat kita rindu, terlalu rindu pada euforia gerakan besar-besaran tahun 66 dan tahun 98. Yang keduanya hampir sama, menggulingkan kekuasaan. Padahal bila dicermati kontribusi mahasiswa pada gerakan tahun 66 tak begitu signifikan. Soekarno dilengserkan dengan paksa bukan karena mahasiswa, tapi Supersemar yang diselewengkan hingga eyang kita itu berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Waktu yang cukup untuk menumpuk utang negara, membudayakan KKN hingga hartanya pun tak habis hingga 7 turunan.

Hal yang ingin saya sorot adalah pergulingan kekuasaan, mengganti orang yang berkuasa dengan orang baru terkadang bukanlah jawaban atas masalah kita. Demo besar-besaran untuk menggulingkan pemerintahan hanya solusi jangka pendek. Karena memang alamiahnya kekuasaan dan harta membuat orang lupa diri.

Siapapun yang berkuasa, pasti memiliki potensi untuk menyelewengkan kekuasaaanya. Jadi pergantian pemimpin dengan paksa bukanlah merupakan suatu jawaban. Mengingatkannya ketika melakukan kesalahan menurut saya lebih bijaksana.

Dan menjadi tugas siapa mengingatkan penguasa ini?

Dalam cerita maha Bharatayudha versi jawa, satu-satunya yang berani mengingatkan bhatara guru ketika melakukan kesalahan adalah kakaknya yang tak lain adalah SEMAR. Panakawan para pandhawa. Dimana status semar dalam mayapada adalah rakyat kecil. Hal ini menunjukkan kedaulatan rakyat telah dikenal bangsa ini sejak munculnya semar dalam carangan kisah mahabharata.

Ya, rakyat. Termasuk mahasiswa sebagai salah satu elemen rakyat. Termasuk mbak-mbak warteg, tukang siomay, dessigner, dosen, buruh dll. Jadi mengapa kita teralu bangga diri dengan gerakan mahasiswa kita? Mengapa kita mengeksklusifkan diri dengan memisahkan mahasiswa dengan rakyat? Padahal sejatinya mahasiswa hanya salah satu elemen dari rakyat. Kita membela kepentingan kita sendiri. Padahal kita adalah rakyat juga.

Maka dari itu, Jangan berjuang sendiri laaah, egois itu namanya. Libatkan elemen rakyat yang juga ingin berjuang. Karena jika memang demonstrasi adalah untuk membela kepentingan rakyat, tentu rakyat mau untuk ikut serta. Jika cara perjuangannya sama.

Kadang-kadang kalimat mahasiswa adalah pembela rakyat terlalu melekat pada jiwa seseorang. Sehingga seringkali orang-orang yang disebut wisudawan menganggap wisuda pula perjuangan mereka dalam membela rakyat. Menganggap bukan saatnya mereka berjuang, tetapi menjadi yang diperjuangkan. Bahkan tak sedikit orang-orang yang dulunya membela di kemudian hari, malah membantai, memakan hak mereka. Karena kewajiban membela rakyat adalah tugas mahasiswa. Sedang ia adalah pejabat negara yang dulu sering ia maki-maki. Ironi.


Saya disini tidak menentang turun aksi. Dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Yang menyebabkan lalu lintas macet semakin macet. Yang hanya 5 menit paling maksimal ditampilkan dalam televisi. Hehe..

Jujur saja, saya memang tidak akrab dengan demonstrasi, saya bukan yang kalian sebut aktivis. Saya bukan pembela rakyat karena saya adalah rakyat itu sendiri. Saya bukan jagoan jalanan yang tak takut menentang aparat.

Karena saya menganggap bahwa demonstrasi hanya salah satu jalan –bukan satu-satunya jalan- untuk mengingatkan pemerintah. Untuk membuat tuntutan kepada pemerintah. Untuk mengembalikan pemerintah dalam misi yang sebenarnya yaitu melunasi janji kemerdekaan.

Jika ada elemen rakyat (seperti bem fakulas yang tak ingin turun aksi)  yang tak ingin ikut serta dalam demonstrasi, alangkah bijaksananya tak perlu di cemooh dan dianggap tak membela kepentingan rakyat. Karena cara berjuang masing-masing kelompok itu berbeda-beda. Mungkin saja mereka berjuang untuk kepentingan rakyat dengan jalan lain. Toh mereka juga rakyat juga, atau bukan? Hehe..

Karena sejatinya ada 2 macam pemuda yang satu menuntut perubahan, yang lain adalah yang menciptakan perubahan. Mungkin mereka sedang berusaha menciptakan perubahan sementara yang lain menuntut perubahan. Kan siapa tau? :)

Yap, memang masih ada banyak jalan lain untuk ikut membenahi masalah negeri ini. Misal saja masalah korupsi yang selama dekade terakhir ini nge-trend. Bahwa sebanyak apapun koruptor ynag ditangkap itu percuma saja jika budaya korupsinya tak dihabisi. Karena sadar atau tidak korupsi kecil-kecilan selalu kita lakukan setiap hari karena memang itu kapasitas kita. Korupsi telah membudaya. Cara untuk memberantas korupsi adalah memberantas budayanya. Jangan pernah berbohong kepada anak-anak, tetangga, adik atau keponakan kita. Karna sadar atau tidak, secara tidak langsung kita juga mengajarinya berbohong yang merupakan akar dari perbuatan korupsi.

Namun perlu diingat. Korupsi bukanlah satu-satunya masalah di negeri ini.
Masih banyak masalah lain.
Intinya adalah banyak jalan lain untuk mengatasi masalah negeri ini.

Yaah, ini Cuma racauan dari seorang mahasiswa depresi dari kamar kosan ditengah kehidupannya yang amburadul. Feel free untuk setuju maupun tak setuju. Toh saya nggak begitu peduli haha, yang penting racauan saya tersalurkan~

Tapi saran aja buat temen-temen, yang mau turun aksi, kapan-kapan ajakin tuu rakyat yang kalian bela kepentingannya.. biar ramai.. kayak revolusi payung di hongkong. Bahkan bisa jadi berita internasional. Jangan egois-egois laah kalau berjuang.. oiya, kalau rakyat turun, jangan teriak “Hidup Mahasiswa!” nanti elemen lain ngambek, kalau Cuma mahasiswa yang hidup, berarti tukang siomay, tukang ojek, mbak-mbak warteg cantik yang dibela itu nggak hidup dong hehe :P teriakin aja “hidup rakyat Indonesia!” kan mencakup semua elemen tuh.


Atau jangan-jangan.. kita mahasiswa emang bukan rakyat? Terus apa dong? Alat politik buat menggulingkan kekuasaan? Kalo gitu, Pantas saja elemen rakyat lain jarang ada yang mau ikut turun. *eh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar