Senin, 18 Januari 2016

bebas terbatas

katanya.
jangan langsung dipercayai.baca dan pikirkan bagaimana menurut nurani anda. bisa saja yang saya tulis ini salah. bisa saja ada benarnya.

emosi mewakili kebebasan sedangkan rasional adalah keterbatasan.
makhluk bernama manusia ada karena kurang lebih peran kolaborasi kedua hal ini yang menjadikan hasil pemikiran rasional dan emosional menjadi suatu bentuk kebudayaan yang unik satu sama lain.

Rabu, 06 Januari 2016

Curhat



Aku mengenalnya sejak duduk di bangku SMA. Tahun pertama aku disana aku hanya tahu saja, dan kesanku.. 

dia cantik. Hanya itu.

Tak pernah ada dialog yang terjadi karena memang lingkaran kehidupan kami tidak saling bersinggungan. Meski beberapa kali berpapasan.

Sempat ada kabar tersebar katanya beberapa orang di sekolah menyimpan perasaan padanya.
Wajar saja, toh dia memang cantik. Tapi hanya itu.

Kesanku padanya tak berubah meski di tahun selanjutnya aku berada di ruangan yang sama dengan perempuan itu. Aku masih terlalu sibuk dengan duniaku. Atau mungkin lebih tepatnya, dunia masih terlalu sibuk denganku.

Samar…

Samar-samar ada sesuatu yang tak ku ketahui dari perempuan itu. Namun toh, aku tak begitu peduli.
Sekilas seperti  jiwa pemberontak, ingin bebas dan tak terkekang tapi lembut bayangan yang tercipta dalam pikiranku akan perempuan itu adalah burung. Mungkin perkutut, atau prenjak hahaha. Eh bukan, sebenarnya lebih mirip Burung Hantu. Tapi toh aku tak peduli. Saat itu bukan dia yang menjadi tokoh utama dalam hidupku.

Perlahan aku kagum. Hanya itu.

Aku memang tak pernah menjadi tokoh utama. Dulu aku merasa hidupku terlalu luas untuk diisi oleh hanya seorang aku. Namun kenyataannya hidupku terlalu sesak dengan tokoh-tokoh utama yang kuciptakan hingga tak ada cukup ruang untuk diriku sendiri.

Sampai saat para tokoh utama itu kemudian pergi dari lingkaran kehidupan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Ruang ini terlalu luas untuk aku rapikan sendiri. Tokoh-tokoh yang pergi itu meninggalkan sampah bernama kesepian. Berserakan dimana-mana.

Dan perempuan itu datang.
Bukan. Aku memanggil setelah beberapa lama aku tak mengenalnya. Hidupnya saat itu adalah sesuatu yang sangat baru bagiku. Awalnya hanya obrolan masalah kepentingan. Tapi caranya menjalani hidup lebih menarik dari sekedar kepentingan. Seolah-olah dia memenuhi ruang hidup dengan dirinya sendiri. Dia menjadi tokoh utama.

Tapi tampaknya ruangan itu terlalu sesak dengan dirinya yang tak kuketahui. Hingga tak ada ruang tersisa. Bahkan untuk eksistensiku yang sekecil zarrah ini. Dialog yang terjadi tak pernah lama lalu kemudian menghilang. Sampah-sampah diruanganku tak habis kurapikan. Namun, setiap kali melihatnya akupun ingin juga menjadi tokoh utama.

Bukan ding.
Aku ingin menjadikannya tokoh utama. Aku ingin memenuhi ruangan hidup ini hanya dengan perempuan itu.

Iya. Aku sedang jatuh cinta, sejak sekitar sepuluh bulan yang lalu. Atau bahkan mungkin sejak lima tahun yang lalu, entah.

Yang jelas kini, patah hati bukan hal yang baru.