Senin, 22 Februari 2016

"Hujan"



"Hey!"

Seorang perempuan bertubuh mungil lengkap dengan hijab dan tas jinjingnya duduk di sampingku. Hanya ada kami di halte sore itu. Suaranya merusak frekwensi lamunan yang terlanjur kubangun megah.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Ah.. tidak ada, hanya sedang mengagumi hujan."

Aku tersenyum, untunglah di dunia yang penuh hiruk-pikuk materialitas dan gaya hidup hedonis ini masih ada orang yang peduli dengan isi kepala.

"Hujan?"

"Ya.. lihat saja, indah bukan? Tiap tetesnya turun dengan ikhlas."


Ia terdiam, mengernyitkan dahi seperti sedang mencoba memahami keindahan yang kuceritakan. Atau.. sebenarnya mungkin ada hal lain bermain di pikirannya. Matanya menerawang jauh sejauh ia mampu membendung air mata yang seharusnya sudah meluap sejak lama.

"Tak hanya ikhlas, hujan juga tabah walau bulan Juni belum nampak." Lanjutku, "Coba kau pikir berapa orang yang mencaci hujan ketika ia mulai turun? Pun begitu ia tetap turun tetes demi tetes. Seperti sebuah pertunjukan yang memaksa manusia untuk berhenti sejenak dari keduniawian mereka. Sangat syahdu."

"Kau ini aneh, di sore secerah ini sempat-sempatnya melamunkan hujan. Lihat, senja berhias dengan gagah di langit barat."

Perempuan itu benar, entah sudah berapa lama kota penuh gedung tinggi ini tak tersentuh hujan. Dan tak satupun warga yang peduli atau setidaknya pura-pura peduli. Tak lagi kujumpai sisa-sisa romansa peraduan rasa dan hujan yang lama tak juga datang. Meski aku sangat merindukan suara air pecah menghantam bumi bertubi-tubi. Mungkin hanya aku yang begitu, yang rela keluar dari rumah hanya untuk mencium bau tanah basah, eh.. aspal basah maksutku. Mana ada tanah tersisa di kota se-sesak ini. Hujan telah hilang. Kota ini gersang. Sekarat.

"Sebegitu cintanya kau pada hujan?"

"Begitulah"

"Mana yang lebih kau cintai, hujan atau aku?"


Perempuan itu bertanya dengan senyum termanis yang pernah aku lihat. Berharap waktu berjalan lebih lambat agar aku bisa menikmati senyuman yang jarang ia tampakkan.

"Apa bedanya? … Toh keduanya hanya bisa kukagumi sepenuhnya hanya ketika ada. Saat tiada aku bisa apa? Menghilang.."

Perempuan itu tertawa. Tertawa terbahak-bahak hanya untuk menutupi ke-tidaksanggupan-nya membendung lagi tangis. Air matanya menetes dan tersapu angin senja. Tetes demi tetes berubah menjadi debu kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya. Aku hanya bisa terdiam melihat partikel-partikel tubuh perempuan mungil itu tersapu angin kencang hasil terpaan bus yang selama ini kutunggu.

Senja hilang, malam merenggut tahtanya yang sekejap. Di gelap sederas itu aku kembali pulang membawa buncahan rindu yang kuselipkan diantara tetes hujan. Meski basah kuyup seluruh badanku dibuatnya.

Hujan menghilang. Dan tak lagi akan datang. Hanya tersisa gumpalan rindu yang mengendap tak karuan menyesaki rongga dada. Rindu beralamatkan perempuan bertubuh mungil lengkap dengan hijab dan tas jinjing yang duduk tepat di sebelahku. Yang menghujani seluruh rasa. Malam itu, tak lagi mampu kubendung tangis.

Dan hujan turun dengan derasnya.